Part 4 (akhir)

images

Ikhwati fillah, dalam tulisan yang lalu, saya telah mengulas penaklukan kota Kasygar dan keberhasilan Qutaybah dalam menggentarkan Kaisar Cina, yang dengan keduanya berakhirlah serangkaian penaklukan besarnya selama ini. Nah, dalam bagian terakhir dari biografi Qutaybah bin Muslim rahimahullah, ada satu pelajaran berharga yang patut kita camkan, yang berkenaan dengan kematian Sang Tokoh. Marilah kita simak penuturan sejarawan Islam terkenal, Al Hafizh Ibnu Katsir sebagai berikut:

Ketika sampai berita terangkatnya Sulaiman bin Abdil Malik sebagai Khalifah, Qutaybah mengirim surat takziyah kepadanya atas kematian saudaranya, mendiang Khalifah Walid. Ia juga memberi selamat atas pengangkatannya sebagai khalifah sembari mengingatkan atas jasa besar dirinya dalam berbagai pertempuran selama ini, dan bahwasanya ia sangat disegani oleh musuh. Ia menyebutkan sederetan wilayah dan negeri-negeri yang berhasil ditaklukkannya dan menyatakan bahwa ia akan tetap taat dan setia kepada Sulaiman sebagaimana taat dan setia kepada Walid jika Sulaiman tidak mencopotnya dari jabatan Gubernur atas wilayah Khurasan. Dalam surat tersebut, Qutaybah sempat memojokkan seseorang yang bernama Yazid bin Muhallab.

Ia kemudian menulis surat kedua kepada Sulaiman, menceritakan kembali akan serangkaian penaklukannya dan kewibawaan dirinya di mata penguasa Kafir Ajam, kemudian mencela Yazid bin Muhallab kembali. Bahkan ia bersumpah dalam surat tersebut bila ia dicopot dari Gubernur Khurasan dan digantikan oleh Yazid, ia akan melengserkan Sulaiman dari jabatan Khalifah.

Setelah itu ia menulis surat ketiga yang berisi pernyataan bahwa ia mencopot Sulaiman dari jabatan Khalifah secara total. Kemudian ketiga surat tersebut diberikan kepada tukang pos seraya berpesan kepadanya: “Sodorkan kepadanya surat pertama, kalau Sulaiman membacanya dan menyerahkannya kepada Yazid bin Muhallab, maka sodorkan surat kedua. Kalau ia membacanya lalu menyerahkannya kepada Yazid bin Muhallab maka sodorkan yang ketiga. Sesampainya di hadapan Sulaiman, tukang pos tadi menyodorkan surat pertama, kebetulan saat itu Yazid bin Muhallab sedang hadir di situ. Selesai membacanya, Sulaiman menyerahkannya kepada Yazid. Maka disodorkanlah surat kedua, lalu ia pun menyerahkannya kepada Yazid, maka disodorkanlah surat ketiga, dan alangkah kagetnya dia saat membaca pernyataan Qutaybah yang terang-terangan mencopotnya dari Khilafah. Air mukanya kontan berubah, ia lalu menstempel surat tersebut dan memegangnya erat-erat. Ia tidak menyerahkannya kepada Yazid, namun memerintahkan si tukang pos agar dijamu di ruang tamu. Malamnya ia mengirim sejumlah emas beserta sepucuk surat yang berisi pengangkatan Qutaybah sebagai Gubernur Khurasan lalu mengirimkan surat kedua lewat Tukang pos lainnya, yang berisi penegasan atas pengangkatannya tersebut.

Sesampainya mereka berdua di Khurasan, keduanya mendengar bahwa Qutaybah telah melepas baiatnya dari Sulaiman, maka ia pun menyerahkan surat Sulaiman kepadanya. Akan tetapi belum lagi ia kembali kepada Sulaiman, ia mendengar bahwa Qutaybah telah mati terbunuh. Lantas bagaimanakah kisah terbunuhnya Qutayba? Ibnu Katsir menuturkan bahwa Qutaybah sempat mengumpulkan pasukannya dan bertekad untuk melengserkan Sulaiman bin Abdul Malik dari Khilafah. Ia tidak mau lagi taat kepadanya sembari menceritakan kepada para pasukannya tentang kehebatan dan penaklukannya. Ia juga bercerita tentang keadilannya terhadap mereka dan betapa banyak harta yang diberikannya kepada mereka.

Usai menceritakan itu semua, ternyata tak seorang pun dari pasukannya yang mau mengikuti seruannya tadi. Maka Qutaybah pun berang kepada mereka lalu mencaci maki mereka, ia menjelek-jelekkan semua kabilah dan setiap kelompok satu persatu… tentu mereka pun berang mendengarnya dan lari meninggalkannya. Mereka bahkan mengadakan kesepakatan untuk menyelisihi Qutaybah dan menghabisinya. Dan konon rencana tersebut dilakukan oleh seseorang yang bernama Waki’ bin Abi Sud. Ia mengumpulkan sejumlah besar pasukan lalu menyerang Qutaybah secara bertubi-tubi hingga berhasil membunuhnya di bulan Dzul Hijjah tahun 96 H.

Di samping membunuh Qutaybah, mereka juga membunuh sebelas orang keluarganya. Tak ada yang tersisa dari mereka selain Dharrar bin Muslim yang dilindungi oleh keluarga ibunya dan Amru bin Muslim yang menjabat sebagai amir di kota Juzjan. Dengan demikian, mereka telah membunuh Qutaybah, Abdurrahman, Abdullah, Ubeidullah, Shalih dan Yasar yang semuanya adalah putera Muslim. Semuanya dibunuh oleh Waki’ bin Sud”.

Lalu Ibnu Katsir melanjutkan: “Memang, Qutaybah konon seorang panglima jenius dan penakluk besar yang sangat berpengalaman dalam berbagai pertempuran. Ia memiliki pandangan baik dan melaluinya Allah memberi hidayah kepada sejumlah besar manusia hingga mereka semua memeluk Islam. Ia juga berhasil menaklukkan sekian banyak wilayah dan negeri yang demikian luas, dan Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan segenap jasa dan perjuangannya tersebut.

Akan tetapi ia melakukan satu kesalahan yang mengakibatkan kematiannya. Ia berbuat sesuatu yang menjatuhkan kehormatannya… ia menanggalkan ketaatan terhadap Khalifah lalu maut menjemputnya. Ia memisahkan diri dari Jama’ah kaum muslimin kemudian mati seperti matinya orang Jahiliyah… pun demikian, sebelumnya ia banyak beramal shalih yang mungkin menjadi kaffarat bagi dosa-dosanya dan melipatgandakan pahalanya. Semoga Allah memaafkannya dan menerima segala perjuangannya melawan musuh. Ia wafat di Farghana, di ujung wilayah Khurasan pada bulan Dzul Hijjah tahun 96 H dalam usia 48 tahun”[1].

Demikianlah pendengar yang setia, sedih memang mendengar akhir dari Qutaybah yang tragis seperti itu… akan tetapi demikianlah sejarah bercerita dan Allah berkehendak atas hamba-Nya. Dan seperti kata pepatah: “Sejarah akan mengulangi dirinya”, karenanya, sebelum berpisah marilah kita petik beberapa pelajaran berharga dari biografi Qutaybah ini.

Pertama: Agama ini adalah milik Allah, dan Allah pasti memenangkannya. Bila kita perhatikan pesatnya perkembangan Islam di zaman para salaf, maka kita akan yakin bahwa hal tersebut tidak mustahil terulang kembali di kemudian hari. Bila Rasulullah telah mengatakan bahwa Islam akan mencapai barat dan timur, maka hal itu pasti akan terjadi. Akan tetapi tentu semuanya dengan sebab-sebab yang masuk akal. Ya, karena sunnatullah tidak akan berubah sampai hari kiamat. Siapa yang menolong agama Allah, maka Allah pasti menolong mereka cepat atau lambat… sebaliknya, siapa yang tidak peduli terhadap Islam maka Allah akan membiarkannya jadi bulan-bulanan musuh. Jika di zaman Qutaybah kaum muslimin demikian hebat dan disegani di dunia, maka ingatlah bahwa itu tidak terjadi dengan malas-malasan dan berpangku tangan, sebagaimana kondisi kaum muslimin saat ini. Akan tetapi karena mereka gigih mempelajari Islam lalu mengamalkannya seoptimal mungkin… bahkan rela mengorbankan harta benda dan nyawa demi tegaknya agama Allah. Mereka berjuang demi tegaknya tauhid dan memberantas segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. Kita ingat betul bagaimana Qutaybah menghancurkan sendiri semua berhala yang jadi sesembahan warga Bukhara begitu berhasil menaklukkannya… nah, inilah faktor utama di balik kemenangan kaum muslimin. Bandingkan dengan kondisi kita sekarang yang demikian mengenaskan… syirik yang merajalela di setiap tempat… Kuburan yang diagungkan di berbagai penjuru dunia, dan semuanya dilakukan oleh mereka yang mengaku muslim… innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun… pantaskah setelah ini semua kita mengharap pertolongan dari Allah??!!

Kedua: pentingnya menjalin komunikasi antara penguasa dan ulama. Sebagaimana yang kita dengar sebelumnya bahwa dalam pasukan Qutaybah terdapat sejumlah ulama seperti Yahya bin Ya’mur dan Muhammad bin Wasi’. Yang keduanya demikian dihormati oleh Qutaybah selaku panglima dan Gubernur Khurasan. Bahkan Imam Dzahabi menceritakan bahwa tatkala Qutaybah berhadapan dengan musuhnya dari bangsa Turki yang demikian besar, ia justeru menanyakan di manakah Muhammad bin Wasi’. Lalu dikatakan bahwa ia berada di sayap kanan pasukan. Qutaybah pun memandangnya saat Muhammad bin Wasi’ membidikkan panah dengan telunjuk mengarah ke langit dan bibir komat-kamit penuh doa… lantas ia berkata: “Telunjuk itu lebih kusukai dari seratus ribu pedang yang terhunus dan pemuda yang gagah berani”[2]. Ini menunjukkan betapa dalam pemahaman Qutaybah akan sebab-sebab kemenangan, yaitu tawakkal kepada Allah dan mempererat hubungan dengan-Nya. Meski Qutaybah telah menyiapkan segala sebab-sebab kemenangan, akan tetapi ia tidak melupakan sebab yang satu ini. Karenanya saat mengetahui bahwa di antara pasukannya ada seorang ‘alim yang bibirnya selalu basah dengan doa dan dzikir, ia pun tenang, dan percaya diri bahwa kemenangan pasti turun.[3]

Ketiga: pentingnya istiqamah dalam menjalankan agama dan jangan sekali-kali kita bangga terhadap amalan kita, betapa pun besarnya ia di mata kita. Ingatlah bahwa amal seseorang tergantung pada akhirnya. Boleh jadi seseorang beramal shalih sekian lama, hingga tatkala ia terpedaya oleh keshalihannya, ia tergelincir dalam satu dosa besar yang menghantarkannya pada kematian, hingga ia mati dalam su’ul khatimah…

Demikianlah ikhwati fillah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita dalam interospeksi diri, dan mengambil pelajaran dari umat-umat terdahulu…

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم، والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


[1] Al Bidayah wan Nihayah: 6/166-167.

[2] Siyar A’lamin Nubala’ 6/121.

[3] Umar bin Abdul Aziz 3/182.